MAKALAH
KANKER PARU
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
NAMA : VERAWATI, S.KM
NIP : 19840203 201001 2014i
KATA PENGANTAR
Puji
syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga
makalah ini dapat terselesaikan. Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk
memenuhi tugas DUPAK dalam kenaikan pangkat.
Sehubungan
dengan penyelesaian penelitian sampai dengan tersusunnya makalah ini, dengan
rasa rendah hati disampaikan rasa terimakasih yang setulustulusnya Semoga amal
baik dari semua pihak mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin.
Disadari
bahwa makalah ini masih kurang sempurna oleh karena itu, kritik dan saran dari
semua pihak sangat diharapkan guna penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat.
Namang,
September 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
JUDUL ....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ................................................................. 3
1.3
Tujuan ................................................................................... 3
BAB II .. PERMASALAHAN ................................................................. 4
BAB III TINJAUAN
PUSTAKA
3.1 Keluhan dan Gejala Penyakit Kanker
Paru .......................... 6
3.2 Penderajatan (Staging) Kanker Paru
.................................... 8
3.2 Etiologi
................................................................................. 16
3.4 Cara Pencegahan
.................................................................. 19
3.5 Cara Pengobatan
................................................................... 21
BAB IV PEMBAHASAN
4.1
kesimpulan .............................................................................. 31
4.2
Saran ....................................................................................... 31
Daftar Pustaka
KANKER PARU
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker merupakan masalah paling utama dalam
bidang kedokteran dan merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian utama di
dunia serta merupakan penyakit keganasan yang bisa mengakibatkan kematian pada
penderitanya karena sel kanker merusak sel lain. Sel kanker adalah sel normal
yang mengalami mutasi/perubahan genetik dan tumbuh tanpa terkoordinasi dengan
sel-sel tubuh lain. Proses pembentukan kanker (karsinogenesis) merupakan
kejadian somatik dan sejak lama diduga disebabkan karena akumulasi perubahan
genetik dan epigenetik yang menyebabkan perubahan pengaturan normal kontrol
molekuler perkembang biakan sel. Perubahan genetik tersebut dapat berupa
aktivasi proto-onkogen dan atau inaktivasi gen penekan tumor yang dapat memicu
tumorigenesis dan memperbesar progresinya (Syaifudin, 2007).
Kanker paru adalah salah satu jenis
penyakit paru yang memerlukan penanganan dan tindakan yang cepat dan terarah.
Penegakan diagnosis penyakit ini membutuhkan ketrampilan dan sarana yang tidak
sederhana dan memerlukan pendekatan multidisiplin kedokteran. Penyakit ini
membutuhkan kerja sama yang erat dan terpadu antara ahli paru dengan ahli
radiologi diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli radiologi terapi dan ahli
bedah toraks, ahli rehabilitasi medik dan ahli-ahli lainnya (PDPI, 2003).
Menurut data jenis kanker yang menjadi
penyebab kematian terbanyak adalah kanker paru, mencapai 1,3 juta kematian
pertahun. Disusul kanker lambung (mencapai lebih dari 1 juta kematian
pertahun), kanker hati (sekitar 662.000 kematian pertahun), kanke usus besar
(655.000 kematian pertahun), dan yang terakhir yaitu kanker payudara (502.000
kematian pertahun) (WHO 2005 dalam Lutfia, 2008).
Di Amerika Serikat kematian karena
kanker paru mencapai 36% dari seluruh kematian kanker pada laki-laki, merupakan
urutan pertama penyebab kematian pada laki-laki (Mangunnegoro, 1990). Mayo Lung
mendapatkan kematian akibat kanker paru terhadap penderita kanker paru
didapatkan angka 3,1 per 1000 orang tiap tahun (Alsagaf, 1995).
Pengobatan atau penatalaksaan penyakit
ini sangat bergantung pada kecekatan ahli paru untuk mendapatkan diagnosis
pasti. Penemuan kanker paru pada stadium dini akan sangat membantu penderita,
dan penemuan diagnosis dalam waktu yang lebih cepat memungkinkan penderita
memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dalam perjalanan penyakitnya meskipun
tidak dapat menyembuhkannya. Pilihan terapi harus dapat segera dilakukan,
mengingat buruknya respons kanker paru terhadap berbagai jenis pengobatan.
Bahkan dalam beberapa kasus penderita kanker paru membutuhkan penangan sesegera
mungkin meski diagnosis pasti belum dapat ditegakkan. Kanker paru dalam arti
luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal
dari paru sendiri maupun keganasan dari luar paru (metastasis tumor di paru).
Dalam pedoman penatalaksanaan ini yang dimaksud dengan kanker paru ialah kanker
paru primer, yakni tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma
bronkus (bronchogenic carcinoma). Menurut konsep masa kini kanker adalah
penyakit gen. Sebuah sel normal dapat menjadi sel kanker apabila oleh berbagai
sebab terjadi ketidak seimbangan antara fungsi onkogen dengan gen tumor
suppresor dalam proses tumbuh dan kembangnya sebuah sel.Perubahan atau mutasi
gen yang menyebabkan terjadinya hiperekspresi onkogen dan/atau kurang/hilangnya
fungsi gen tumor suppresor menyebabkan sel tumbuh dan berkembang tak
terkendali. Perubahan ini berjalan dalam beberapa tahap atau yang dikenal
dengan proses multistep carcinogenesis. Perubahan pada kromosom,
misalnya hilangnya heterogeniti kromosom atau LOH juga diduga sebagai mekanisme
ketidak normalan pertumbuhan sel pada sel kanker. Dari berbagai penelitian
telah dapat dikenal beberapa onkogen yang berperan dalam proses karsinogenesis
kanker paru, antara lain gen myc, gen k-ras sedangkan kelompok gen tumor suppresor
antaralain, gen p53, gen rb. Sedangkan perubahan kromosom pada lokasi 1p, 3p
dan 9p sering ditemukan pada sel kanker paru (PDPI, 2003).
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Keluhan dan Gejala Kanker Paru
2. Penderajatan (staging) Kanker Paru
3. Etiologi Kanker Paru
4. Cara Pencegahan Kanker Paru
5.
Cara Pengobatan Kanker Paru
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Keluhan dan
Gejala Kanker Paru
2. Untuk mengetahui Penderajatan
(staging) Kanker Paru
3. Untuk mengetahui Etiologi Kanker
Paru
4. Untuk mengetahui Cara Pencegahan
Kanker Paru
5.
Untuk mengetahui Cara Pengobatan Kanker Paru
BAB II
PERMASALAHAN
Di Indonesia
terdapat lima jenis kanker yang banyak diderita penduduk yakni kanker rahim,
kanker payudara, kanker kelenjar getah bening, kanker kulit, dan kanker rektum.
Kasus penyakit kanker yang ditemukan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008
sebanyak 27.125 kasus, terdiri dari Ca. servik 8.568 kasus (31,59%), Ca. mamae
14.019 kasus (51,68%), Ca. hepar 3.260 (12,02%), dan Ca. paru 1.278 kasus
(4,71%). Prevalensi kanker paru di Jawa Tengah tahun 2006 sebesar 0,01%. Pada
tahun 2007 mengalami penurunan menjadi 0,004%, dan pada tahun 2008 menjadi
0,005%. Prevalensi tertinggi adalah di Kabupaten Kudus sebesar 0,026% (Dinprov
Jateng, 2008).
Atmanto (1992)
menyatakan kanker paru merupakan penyakit dengan keganasan tertinggi diantara
jenis kanker lainnya di Jawa Timur dengan angka Case Fatality Rate (CFR)
sebesar 24,1%. Pada Tahun 1998 di RS Kanker Dharmais, kanker paru menem-pati
urutan kedua terbanyak setelah kanker payudara, yaitu sebanyak 75 kasus (Nasar,
2000)
Tingginya angka
merokok pada masyarakat akan menjadikan kanker paru sebagai salah satu masalah
kesehatan di Indonesia, seperti masalah keganasan lainnya. Peningkatan angka
kesakitan penyakit keganasan, seperti penyakit kanker dapat dilihat dari hasil
Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang pada 1972 memperlihatkan angka
kematian karena kanker masih sekitar 1,01 % menjadi 4,5 % pada 1990. Data yang
dibuat WHO menunjukan bahwa kanker paru adalah jenis penyakit keganasan yang
menjadi penyebab kematian utama pada kelompok kematian akibat keganasan, bukan
hanya pada laki laki tetapi juga pada perempuan. Buruknya prognosis penyakit
ini mungkin berkaitan erat dengan jarangnya penderita datang ke dokter ketika
penyakitnya masih berada dalam stadium awal penyakit. Hasil penelitian pada
penderita kanker paru pasca bedah menunjukkan bahwa, rata-rata angka tahan
hidup 5 tahunan stage I sangat jauh berbeda dengan mereka yang dibedah setelah
stage II, apalagi jika dibandingkan dengan staging lanjut yang diobati adalah 9
bulan (PDPI, 2003).
Pada tahun 1998 Cancer
Statistics melaporkan bahwa di Amerika ditemukan 45.000 kasus baru KPKSK.
Respons terhadap kemoterapi KPKSK pada semua stage cukup tinggi ( 65 % - 85 %),
MTTH pada limited stage (LD-SCLC) yang diobati 10 – 15 bulan, hanya 3 bulan
jika tidak diobati, dan akan meningkat menjadi 12 – 20 bulan jika ditambah
dengan radiasi toraks. Angka tahan hidup pada extensive disease (ED_SCLC) jauh
lebih rendah yaitu 7 – 11 bulan jika diterapi dan hanya 1,5 bulan jika tidak
diobati (Landis et al, 1998).
BAB
III
TINJAUAN
PUSTAKA
3.1
Keluhan dan Gejala Penyakit Kanker Paru
Gambaran klinik penyakit kanker paru
tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya, terdiri dari keluhan subyektif
dan gejala obyektif. Dari anamnesis akan didapat keluhan utama dan perjalanan
penyakit, serta faktor–faktor lain yang sering sangat membantu tegaknya
diagnosis. Keluhan utama dapat berupa :batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak
putih, dapat juga purulen), batuk darah, sesak napas, suara serak, sakit dada,
sulit / sakit menelan, benjolan di pangkal leher, sembab muka dan leher,
kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa nyeri yang hebat (PDPI, 2003).
Tidak jarang yang pertama terlihat
adalah gejala atau keluhan akibat metastasis di luar paru, seperti kelainan
yang timbul karena kompresi hebat di otak, pembesaran hepar atau patah tulang
kaki. Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti :berat badan berkurang, nafsu
makan hilang, demam hilang timbul, sindrom paraneoplastik, seperti
"hypertrophic pulmonary osteoartheopathy", trombosis vena perifer dan
neuropatia (PDPI, 2003).
3.1.1
Patofisiologi
Awalnya menyerang percabangan segmen/
sub bronkus menyebabkan cilia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi
pengendapan karsinogen. Dengan adanya pengendapan karsinogen maka menyebabkan
metaplasia, hyperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh
metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul efusi
pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra. Lesi
yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar.
Lesi ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan
supurasi di bagian distal. Gejala-gejala yang timbul dapat berupa batuk,
hemoptysis, dispneu, demam, dan dingin. Wheezing unilateral dapat terdengan
pada auskultasi. Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya
menunjukkan adanya metastase, khususnya pada hati. Kanker paru dapat
bermetastase ke struktur – struktur terdekat seperti kelenjar limfe, dinding
esofagus, pericardium, otak, tulang rangka (Arisandi, 2008).
3.1.2
Jenis histologis
Untuk menentukan jenis histologis,
secara lebih rinci dipakai klasifikasi histologis menurut WHO tahun 1999,
tetapi untuk kebutuhan klinis cukup jika hanya dapat diketahui :
1. Karsinoma skuamosa (karsinoma
epidermoid)
2. Karsinoma sel kecil (small cell
carcinoma)
3. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)
4. Karsinoma sel besar (large Cell
carcinoma)
Secara garis besar kanker paru dibagi
menjadi 2 bagian yaitu Small Cel Lung Cancer (SCLC) dan Non Small Cel
Lung Cancer (NCLC) (Wasripin, 2007).
a.
Small Cell Lung Cancer (SCLC)
Kejadian kanker paru jenis SCLC ini
hanya sekitar 20 % dari total kejadian kanker paru. Namun jenis ini berkembang
sangat cepat dan agresif. Apabila tidak segera mendapat perlakuan maka hanya
dapat bertahan 2 sampai 4 bulan.
b.
Non Small Cell Lung Cancer
80 % dari total kejadian kanker paru
adalah jenis NSCLC. Secara garis besar dibagi menjadi 3 yaitu:
1.
Adenocarsinoma, jenis ini adalah yang
paling banyak ditemukan (40%).
2.
Karsinoma Sel Sekuamosa, banyaknya kasus
sekitar 20 – 30 %.
3.
Karsinoma Sel Besar, banyaknya kasus
sekitar 10 – 15 %.
Sebagian besar pasien yang didiagnosa
dengan NSCLC (70 – 80 %) sudah dalam stadium lanjut III – IV.
Berbagai keterbatasan sering menyebabkan
dokter specialis Patologi Anatomi mengalami kesulitan menetapkan jenis
sitologi/histologis yang tepat. Karena itu, untuk kepentingan pemilihan jenis
terapi, minimal harus ditetapkan, apakah termasuk kanker paru karsinoma sel
kecil (KPKSK atau small cell lung cancer, SCLC) atau kanker paru jenis
karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK, nonsmall cell lung cancer, NSCLC)
(WHO 1999 dalam PDPI, 2003).
3.2 Penderajatan
(Staging) Kanker Paru
Penderajatan untuk KPKBSK ditentukan menurut
International System For Lung Cancer 1997, berdasarkan sistem TNM. Pengertian T
adalah tumor yang dikatagorikan atas Tx, To s/d T4, N untuk keterlibatan
kelenjar getah bening (KGB) yang dikategorikan atas Nx, No s/d N3, sedangkan M
adalah menunjukkan ada atau tidaknya metastasis jauh (WHO 1999 dalam PDPI,
2003).
Penderajatan Internasional Kanker Paru
Berdasarkan Sistem TNM
|
Stage TNM
|
occult carcinoma : Tx N0 M0
|
0 : Tis N0 M0
|
IA : T1 N0 M0
|
IB : T2 N0 M0
|
IIA : T1 N1 M0
|
IIB : T2 N1 M0
|
IIIA : T3 N0 M0
|
T3 N2 M0
|
IIIB : seberang T N3 M0
|
T4 sebarang N M0
|
IV : sebarangT sebarangN sebarangT
|
KETERANGAN
T
|
Tumor Primer
|
To
|
Tidak ada bukti ada tumor primer.
Tumor
primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari penemuan sel tumor ganas pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak tampak secara radilogis atau bronkoskopik. |
Tx
|
Tumor primer sulit dinilai, atau tumor
primer
terbukti dari penemuan sel tumor ganas pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak tampak secara radilogis atau bronkoskopik. |
Tis
|
Karsinoma in situ T1 Tumor dengan
garis
Tengah terbesar tidak melebihi 3 cm, dikelilingi oleh jaringan paru atau pleura viseral dan secara bronkoskopik invasi tidak lebih proksimal dari bronkus lobus (belum sampai ke bronkuslobus (belum sampai ke bronkus utama). Tumor supervisial sebarang ukuran dengankomponen invasif terbatas pada dinding bronkus yang meluas ke proksimal bronkus utama |
T2
|
Setiap tumor dengan ukuran atau
perluasan sebagai berikut :
Viseral
pneumonitis obstruktif yang meluas ke
daerah hilus,tetapi belum mengenai seluruh paru. |
T3
|
Tumor sebarang ukuran, dengan perluasan
langsung pada dinding dada (termasuk tumor sulkus superior), diafragma, pleura mediastinum atau tumor dalam bronkus utamayang jaraknya kurang dari 2 cm sebelah distal karina atau tumor yang berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif seluruh paru. |
T4
|
Tumor sebarang ukuran yang mengenai
mediastinum atau jantung, pembuluh besar, trakea, esofagus, korpus vertebra,
karina, tumor yang disertai dengan efusi pleura ganas atau satelit tumor
nodul ipsilateral pada lobus yang sama dengan tumor primer.
|
N
|
Kelenjar getah bening regional (KGB)
|
Nx
|
Kelenjar getah bening tak dapat
dinilai
|
No
|
Tak terbukti keterlibatan kelenjar
getah bening
|
N1
|
Metastasis pada kelenjar getah bening
peribronkial dan/atau hilus ipsilateral, termasuk perluasan tumor secara
langsung
|
N2
|
Metastasis pada kelenjar getah bening
mediatinum ipsilateral dan/atau KGB subkarina
|
N3
|
Metastasis pada hilus atau mediastinum
kontralateral atau KGB skalenus / supraklavila ipsilateral / kontralateral
|
M
|
Metastasis (anak sebar) jauh.
|
Mx
|
Metastasis tak dapat dinilai
|
Mo
|
Tak ditemukan metastasis jauh
|
M1
|
Ditemukan metastasis jauh.
“Metastastic tumor nodule”(s) ipsilateral di luar lobus tumor primerm
dianggap sebagai M1
|
(WHO 1999 dalam PDPI, 2003).
3.2.1
Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
a.
Pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan jasmani harus dilakukan
secara menyeluruh dan teliti. Hasil yang didapat sangat bergantung pada
kelainan saat pemeriksaan dilakukan. Tumor paru ukuran kecil dan terletak di
perifer dapat memberikan gambaran normal pada pemeriksaan. Tumor dengan ukuran
besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus,
efusi pleura atau penekanan vena kava akan memberikan hasil yang lebih
informatif. Pemeriksaan ini juga dapat memberikan data untuk penentuan stage
penyakit, seperti pembesaran KGB atau tumor diluar paru. Metastasis ke organ
lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar, pemeriksaan funduskopi untuk
mendeteksi peninggian tekanan intrakranial dan terjadinya fraktur sebagai
akibat metastasis ke tulang (PDPI, 2003).
b.
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis adalah salah satu
pemeriksaan penunjang yang mutlak dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor
primer dan metastasis, serta penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem TNM.
Jenis pemeriksaan Radiologis yaitu (PDPI, 2003) :
1.
Foto toraks :
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral
akan dapat dilihat bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda
yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai identasi pleura,
tumor satelit tumor, dll. Pada foto tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke
dinding dada, efusi pleura, efusi perikar dan metastasis intrapulmoner.
Sedangkan keterlibatan KGB untuk menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto
toraks saja. Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan kanker paru pada seorang
penderita penyakit paru dengan gambaran yang tidak khas untuk keganasan penting
diingatkan. Seorang penderita yang tergolong dalam golongan resiko tinggi (GRT)
dengan diagnosis penyakit paru, harus disertai difollowup yang teliti.
Pemberian OAT yang tidak menunjukan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1
bulan harus menyingkirkan kemungkinan kanker paru, tetapi lain masalahnya
pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian antibiotik selama 1
minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan tumor dibalik pneumonia
tersebut Bila foto toraks menunjukkan gambaran efusi pleura yang luas harus
diikuti dengan pengosongan isi pleura dengan punksi berulang atau pemasangan
WSD dan ulangan foto toraks agar bila ada tumor primer dapat diperlihatkan.
Keganasan harus difikirkan bila cairan bersifat produktif, dan/atau cairan
serohemoragik.
2.
CT-Scan toraks :
Tehnik pencitraan ini dapat menentukan
kelainan di paru secara lebih baik daripada foto toraks. CT-scan dapat
mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih tepat.
Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih baik,
bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intra bronkial,
atelektasis, efusi pleura yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke
mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Lebih jauh lagi dengan
CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan stage juga
lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga
ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner.
3.
Pemeriksaan radiologik lain :
Kekurangan dari foto toraks dan CT-scan
toraks adalah tidak mampu mendeteksi telah terjadinya metastasis jauh. Untuk
itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain, misalnya Brain-CT untuk mendeteksi
metastasis di tulang kepala / jaringan otak, bone scan dan/atau bone survey
dapat mendeteksi metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat
melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain dalam
rongga perut.
c.
Pemeriksaan khusus
1.
Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah pemeriksan dengan
tujuan diagnostik sekaligus dapat dihandalkan untuk dapat mengambil jaringan
atau bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada
tidaknya masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas, seperti
terlihat kelainan mukosa tumor misalnya, berbenjol-benjol, hiperemis, atau
stinosis infiltratif, mudah berdarah. Tampakan yang abnormal sebaiknya di ikuti
dengan tindakan biopsi tumor/dinding bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan
bronkus.
2.
Biopsi aspirasi jarum
Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak
dapat dilakukan, misalnya karena amat mudah berdarah, atau apabila mukosa licin
berbenjol, maka sebaiknya dilakukan biopsi aspirasi jarum, karena bilasan dan
biopsi bronkus saja sering memberikan hasil negatif.
3.
Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)
TBNA di karina, atau trakea 1/1 bawah (2
cincin di atas karina) pada posisi jam 1 bila tumor ada dikanan, akan
memberikan informasi ganda, yakni didapat bahan untuk sitologi dan informasi
metastasis KGB subkarina atau paratrakeal.
4.
Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)
Jika lesi kecil dan lokasi agak di
perifer serta ada sarana untuk fluoroskopik maka biopsi paru lewat bronkus
(TBLB) harus dilakukan.
5.
Biopsi Transtorakal (Transthoraxic
Biopsy, TTB)
Jika lesi terletak di perifer dan ukuran
lebih dari 2 cm, TTB dengan bantuan flouroscopic angiography. Namun jika
lesi lebih kecil dari 2 cm dan terletak di sentral dapat dilakukan TTB dengan
tuntunan CTscan.
6.
Biopsi lain
Biopsi jarum halus dapat dilakukan bila
terdapat pembesaran KGB atau teraba masa yang dapat terlihat superfisial.
Biopsi KBG harus dilakukan bila teraba pembesaran KGB supraklavikula, leher
atau aksila, apalagi bila diagnosis sitologi/histologi tumor primer di paru
belum diketahui. Biopsi Daniels dianjurkan bila tidak jelas terlihat pembesaran
KGB suparaklavikula dan cara lain tidak menghasilkan informasi tentang jenis
sel kanker. Punksi dan biopsi pleura harus dilakukan jika ada efusi pleura.
7.
Torakoskopi medik
Dengan tindakan ini massa tumor di
bagaian perifer paru, pleura viseralis, pleura parietal dan mediastinum dapat
dilihat dan dibiopsi.
8.
Sitologi sputum
Sitologi sputum adalah tindakan
diagnostik yang paling mudah dan murah. Kekurangan pemeriksaan ini terjadi bila
tumor ada di perifer, penderita batuk kering dan tehnik pengumpulan dan
pengambilan sputum yang tidak memenuhi syarat. Dengan bantuan inhalasi NaCl 3%
untuk merangsang pengeluaran sputum dapat ditingkatkan. Semua bahan yang
diambil dengan pemeriksaan tersebut di atas harus dikirim ke laboratorium
Patologi Anatomik untuk pemeriksaan sitologi/histologi. Bahan berupa cairan
harus dikirim segera tanpa fiksasi, atau dibuat sediaan apus, lalu difiksasi
dengan alkohol absolut atau minimal alkohol 90%. Semua bahan jaringan harus
difiksasi dalamformalin 4% (PDPI, 2003).
d.
Pemeriksaan invasif lain
Pada kasus kasus yang rumit terkadang
tindakan invasif seperti Torakoskopi dan tindakan bedah mediastinoskopi,
torakoskopi, torakotomi eksplorasi dan biopsi paru terbuka dibutuhkan agar
diagnosis dapat ditegakkan. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir bila dari
semua cara pemeriksaan yang telah dilakukan, diagnosis histologis / patologis
tidak dapat ditegakkan.
Semua tindakan diagnosis untuk kanker
paru diarahkan agar dapat ditentukan :
a. Jenis histologis.
b. Derajat (staging).
c. Tampilan (tingkat tampil,
"performance status").
Sehingga jenis pengobatan dapat dipilih
sesuai dengan kondisi penderita.
e.
Pemeriksaan lain
1.
Petanda Tumor
Petanda tumor yang telah, seperti CEA,
Cyfra21-1, NSE dan lainya tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis tetapi masih
digunakan evaluasi hasil pengobatan.
2.
Pemeriksaan biologi molekuler
Pemeriksaan biologi molekuler telah
semakin berkembang, cara paling sederhana dapat menilai ekspresi beberapa gen
atau produk gen yang terkait dengan kanker paru,seperti protein p53, bcl2, dan
lainya. Manfaat utama dari pemeriksaan biologi molekuler adalah menentukan
prognosis penyakit.
3.3 Etiologi
3.3.1
Merokok
Merokok diestimasikan 90% menyebabkan
kanker paru-paru pada pria, dan sekitar 70% pada wanita. Di negara-negara
industri, sekitar 56% - 80% merokok menyebabkan penyakit pernafasan kronis dan
sekitar 22% penyakit kardiovaskular. Indonesia menduduki peringkat ke-4 jumlah
perokok terbanyak di dunia dengan jumlah sekitar 141 juta orang. Diperkirakan,
konsumsi rokok Indonesia setiap tahun mencapai 199 miliar batang rokok.
Akibatnya adalah kematian sebanyak 5 juta orang pertahunnya (Gondidoputra,
2007).
Kasus kanker paru baik di Amerika
ataupun negara-negara industri lainnya sekitar 90% berhubungan dengan merokok.
Data RSUP Persahabatan Jakarta menunjukkan bahwa 24,5% perempuan dan 83,6% pria
pasien kanker paru adalah perokok (Murray, 2010).
a. Asap
rokok mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia, banyak yang telah diidentifikasi
sebagai penyebab kanker.
b. Orang
yang merokok lebih dari satu pak rokok per hari memiliki 20-25 kali lebih besar
risiko terkena kanker paru-paru daripada orang yang tidak pernah merokok.
c. Setelah
seseorang berhenti merokok, risiko nya untuk kanker paru-paru berkurang secara
bertahap. Sekitar 15 tahun setelah berhenti, risiko untuk kanker paru-paru
menurun dengan tingkat seseorang yang tidak pernah merokok.
d. Cigar
dan merokok pipa meningkatkan risiko kanker paru-paru, tetapi tidak sebanyak
merokok. Sekitar 90% kanker paru-paru timbul akibat penggunaan tembakau. Risiko
kanker paru-paru berkembang adalah berkaitan dengan faktor-faktor berikut:
Jumlah rokok yang diisap, Usia di mana seseorang mulai merokok, Berapa lama
seseorang merokok (atau pernah merokok sebelum keluar).
Penyebab
lain kanker paru termasuk sebagai berikut:
1) Merokok
pasif, atau asap bekas, menyajikan lain risiko untuk kanker paru-paru. Sebuah
kematian diperkirakan 3.000 kanker paru-paru terjadi setiap tahun di Amerika
Serikat yang dapat diatribusikan pada perokok pasif.
2) Sebagian
besar karsinogen dalam asap tembakau (rokok) ditemukan pada fase tar seperti
PAH dan fenol aromatik Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua
atau hitam yang merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan
menempel pada paru – paru. Kadar tar dalam tembakau antara 0.5-35 mg/ batang.
Tar merupakan suatu zat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker pada jalan
nafas dan paru-paru (Gondodiputro, 2007).
3.3.2
Polusi udara
Polusi dari kendaraan bermotor, pabrik,
dan sumber lain mungkin meningkatkan risiko kanker paru-paru. Gas yang paling
berbahaya bagi paru-paru adalah SO2 dan NO2. Kalau unsur ini diisap, maka
berbagai keluhan di paru-paru akan timbul dengan nama CNSRD (chronic non
spesific respiratory disease) seperti asma dan bronkhitis (Aditama, 1992).
Kenaikan konsentrasi gas SO2 dan NO2 dikaitkan dengan adanya gangguan fungsi
paru
a. Pengaruh pencemaran akibat oksida
sulfur adalah meningkatnya tingkat morbiditas, insidensi penyakit pernapasan,
seperti bronchitis, emphysema dan penurunan kesehatan umum. Konsentrasi
SO2 0,04 ppm dengan partikulat 169 µg/m3 menimbulkan peningkatan yang tinggi
dalam kematian akibat bronchitis dan kanker paru-paru (Soedomo, 1999).
b. Pengaruhnya terhadap kesehatan
yaitu terganggunya sistem pernapasan dan dapat menjadi emfisema, bila
kondisinya kronis dapat berpotensi menjadi bronkhitis serta akan terjadi
penimbunan NO2 dan dapat merupakan sumber karsinogenik (Sunu, 2001).
3.3.3
Akibat Kerja
a. Pemaparan asbes meningkatkan
resiko kanker paru-paru sembilan kali. Kombinasi dari paparan asbes dan merokok
meningkatkan resiko untuk sebanyak 50 kali. Kanker lain dikenal sebagai
mesothelioma (suatu jenis kanker pada lapisan rongga dada yang disebut pleura
atau lapisan rongga perut disebut peritoneum) juga sangat terkait dengan
paparan asbes.
b. Pekerjaan tertentu dimana paparan
arsenik,, kromium nikel, hidrokarbon aromatik, dan eter terjadi dapat
meningkatkan risiko kanker paru-paru.
c. Penyakit Paru Kerja Akibat Pajanan
Cat Semprot. Cat semprot mengubah substansi menjadi aerosol, yaitu kumpulan
partikel halus berupa cair atau padat, sehingga karena ukurannya yang kecil
akan mudah terhisap, selanjutnya merupakan pajanan potensial khususnya terhadap
kesehatan paru. Pigmen dalam cat berguna untuk mewarnai dan meningkatkan
ketahanan cat. Banyak jenis pigmen merupakan bahan berbahaya yaitu Chromium dan
Cadmium Memberikan warna hijau, kuning, dan oranye dapat menyebabkan kanker
paru dan iritasi kulit, hidung, dan saluran nafas atas (Wahyuningsih, 2003).
3.3.4
Penyakit Paru,
Penyakit paru seperti tuberkulosis (TBC)
dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), juga membuat risiko untuk kanker
paru-paru. Seseorang dengan PPOK memiliki risiko empat sampai enam kali lebih
besar terkena kanker paru-paru bahkan ketika pengaruh merokok dikecualikan.
3.3.5
Iradiasi
a. Radon pose eksposur risiko lain
merupakan produk sampingan dari radium alami, yang merupakan produk uranium.
b. Radon hadir di udara indoor dan
outdoor.
c. Risiko kanker paru meningkat
dengan paparan jangka panjang yang signifikan untuk radon, meskipun tidak ada
yang tahu risiko yang tepat. Sebuah% 12 diperkirakan kematian akibat kanker
paru-paru timbul gas radon, atau sekitar 21.000 kematian paru-paru terkait
kanker setiap tahun di US Radon gas adalah penyebab utama kedua kanker
paru-paru di Amerika Serikat setelah merokok. Seperti dengan paparan asbes,
merokok sangat meningkatkan resiko kanker paru-paru dengan paparan radon.
d. Seseorang yang telah menderita
kanker paru-paru lebih mungkin mengembangkan kanker paru-paru detik dibanding
rata-rata orang adalah untuk mengembangkan kanker paru-paru terlebih dahulu.
(
www.emedicinehealth.com )
3.3.6
Genetik.
Terdapat perubahan/ mutasi beberapa gen
yang berperan dalam kanker paru, yakni :
a. Proton oncogen
b. Tumor suppressor gene
c. Gene encoding enzyme (Adisani,
2008).
3.3.7
Diet
Dilaporkan bahwa rendahnya konsumsi
betakaroten, seleniumdan vitamin A menyebabkan tingginya resiko terkena kanker
paru (Suyono, 2001).
3.4 Cara
Pencegahan
Prinsip upaya penceggahan lebih baik
dari sebatas pengoobatan. Terdapat 4 Tingkatan pencegahan dalam epideemiologi
penyakit kanker paru, yaitu :
3.4.1
Pencegahan Primordial
Berupa upaya untuk memberikan kondisi
pada masyarakat yang memungkinkan penyakit kanker paru tidak dapat berkembang
karena tidak adanya peluang dan dukungan dari kebiasaan, gaya hidup maupun
kondisi lain yang merupakan faktor resiko untuk munculnya penyakit kanker paru.
Misalnya : menciptakan prakondisi dimana masyarakat merasa bahwa merokok itu
merupakan statu kebiasaan yang tidak baik dan masyarakat mampu bersikap positif
untuk tidak merokok.
Penelitian tentang rokok mengatakan
bahwa lebih dari 63 jenis bahan yang dikandung asap rokok itu bersifat
karsinogenesis. Secara epidemiologik juga terlihat kaitan kuat antara kebiasaan
merokok dengan insidens kanker paru, maka tidak dapat disangkal lagi
menghindarkan asap rokok adalah kunci keberhasilan pencegahan yang dapat
dilakukan. Keterkaitan rokok dengan kasus kanker paru diperkuat dengan data
bahwa risiko seorang perempuan perokok pasif akan terkena kanker paru lebih
tinggi daripada mereka yang tidak terpajan kepada asap rokok. Dengan dasar
penemuan di atas adalah wajar bahwa pencegahan utama kanker paru berupa upaya
memberantas kebiasaan merokok. Menghentikan seorang perokok aktif adalah
sekaligus menyelamatkan lebih dari seorang perokok pasif (PDPI, 2003).
3.4.2
Pencegahan
Tingkat Pertama
Pencegahan
tingkat pertama yang dapat dilakukan antara lain:
·
Kampanye kesadaran masyarakat
·
Promosi kesehatan
b) Pencegahan Khusus :
·
Pencegahan keterpaparan
·
Pemberian kemopreventif
3.4.3
Pencegahan
Tingkat Kedua
a) Diagnosis Dini : misalnya dengan
Screening.
b) Pengobatan : misalnya dengan
Kemotherapi atau Pembedahan.
3.4.4
Pencegahan
Tingkat Ketiga
Pencegahan
tingkat ketiga dapat dilakukan dengan cara rehabilitasi.
3.5 Cara
Pengobatan
Pengobatan kanker paru adalah
combined modality therapy (multi-modaliti terapi). Kenyataanya pada saat pemilihan
terapi, sering bukan hanya diharapkan pada jenis histologis, derajat dan
tampilan penderita saja tetapi juga kondisi non-medisseperti fasiliti
yang dimilikirumah sakit dan ekonomi penderita juga merupakan faktor
yang amat menentukan.
Menurut Persatuan Ahli Bedah
Onkologi Indonesia (2005), penatalaksanaan/pengobatan utama penyakit kanker
meliputi empat macam yaitu pembedahan, radioterapi, kemoterapi dan hormoterapi.
Pembedaha dilakukan untuk mengambil ‘massa kanker‘ dan memperbaiki komplikas
yang mungkin terjadi. Sementara tindakan radioterapi dilakukan dengan sina
ionisasi untuk menghancurkan kanker. Kemoterapi dilakukan untu membunuh sel
kanker dengan obat anti-kanker (sitostatika). Sedangkan hormonterapi dilakukan
untuk mengubah lingkungan hidup kanker sehingga pertumbuhan sel-selnya
terganggu dan akhirnya mati sendiri (Sukardja 1996 dalam Lutfia, 2008).
a. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker
paru adalah untuk KPKBSK stadium I dan II. Pembedahan juga merupakan bagian
dari “combine modality therapy”, misalnya kemoterapi neoadjuvan untuk KPBKSK
stadium IIIA. Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang memerlukan
intervensi bedah, seperti kanker paru dengan sindroma vena kava superiror
berat. Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap
berikut jaringan KGB intrapulmoner, dengan lobektomi maupun pneumonektomi.
Segmentektomi atau reseksi baji hanya dikerjakan jika faal paru tidak cukup
untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan potong beku untuk memastikan
bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KGB mediastinum diambil dengan diseksi
sistematis, serta diperiksa secara patologi anatomis (PDPI, 2003).
b. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pilihan utama
untuk kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK) dan beberapa tahun sebelumnya
diberikan sebagai terapi paliatif untuk kanker paru karsinoma bukan sel kecil
(KPKBSK) stage lanjut. Tujuan pemberian kemoterapi paliatif adalah mengurangi
atau menghilangkan gejala yang diakibatkan oleh perkembangan sel kanker
tersebut sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan kualiti hidup penderita.
Tetapi akhir-akhir ini berbagai penelitian telah memperlihatkan manfaat
kemoterapi untuk KPKBSK sebagai upaya memperbaiki prognosis, baik 3 sebagai
modaliti tunggal maupun bersama modaliti lain, yaitu radioterapi dan/atau
pembedahan. Indikasi pemberian kemoterapi pada kanker paru ialah:
1. Penderita kanker paru jenis
karsinoma sel kecil (KPKSK) tanpa atau dengan gejala.
2. Penderita kanker paru jenis
karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) yang inoperabel (stage IIIB & IV), jika memenuhi
syarat dapat dikombinasi dengan radioterapi, secara konkuren, sekuensial atau
alternating kemoradioterapi.
3. Kemoterapi adjuvan yaitu
kemoterapi pada penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK)
stage I, II dan III yang telah dibedah.
4. Kemoterapi neoadjuvan yaitu
kemoterapi pada penderita stage IIIA dan beberapa kasus stage IIIB yang akan
menjalani pembedahan. Dalam hal ini kemoterapi merupakan bagian terapi
multimodaliti.
Penderita yang akan mendapat
kemoterapi terlebih dahulu harus menjalani pemeriksaan dan penilaian, sehingga
terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Jusuf et al., 2005) :
1. Diagnosis histologis telah
dipastikan
Pemilihan obat yang digunakan
tergantung pada jenis histologis. Oleh karena itu diagnosis histologis perlu
ditegakkan. Untuk kepentingan itu dianjurkan menggunakan klasifikasi histologis
menurut WHO tahun 1997. Apabila ahli patologi sulit menentukan jenis yang
pasti, maka bagi kepentingan kemoterapi minimal harus dibedakan antara:
·
Jenis karsinoma sel kecil
·
Jenis karsinoma bukan sel kecil, yaitu
karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma dan karsinoma sel besar
2. Tampilan/performance status
menurut skala Karnofsky minimal 60 - 70 atau skala WHO
3. Pemeriksaan darah perifer
untuk pemberian siklus pertama :
·
Leukosit > 4.000/mm3
·
Trombosit > 100.000/mm3
·
Hemoglobin > 10 g%. Bila perlu,
transfusi darah diberikan sebelum pemberian obat.
Sedangkan untuk pemberian siklus
berikutnya, jika nilai-nilai di atas itu lebih rendah maka beberapa jenis obat
masih dapat diberikan dengan penyesuaian dosis.
4. Sebaiknya faal hati dalam
batas normal
5. Faal ginjal dalam batas
normal, terutama bila akan digunakan obat yang nefrotoksik. Untuk pemberian
kemoterapi yang mengandung sisplatin, creatinine clearance harus lebih besar
daripada 70 ml/menit. Apabila nilai ini lebih kecil, sedangkan kreatinin normal
dan penderita tua sebaiknya digunakan karboplatin.
Penelitian di Asia , MTTH penderita
limited stage (LD-SCLC) yang mendapat kemoradioterapi 14,2 bulan (95% CI, 10,96
– 17,44) dan meningkat menjadi 16,9 bulan (95% CI, 11,83 – 21,97) pada yang
mendapat tambahan PCI. Angka MTTH lebih rendah yaitu 8,17 bulan (95%CI, 5,44 –
10,89) pada pasien extensive disease (ED_SCLC) yang mendapat kemoradioterapi
(Toh et al,2007 ).
Penelitian tentang pemberian
kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada karsinoma sel kecil/ limited stage
mendapatkan perbedaan hasil mengenai pengaruh terhadap ketahanan hidup. Tetapi
insidens relaps tumor tersebut berkurang. Di RS Persahabatan, Jakarta
kemoterapi pada KPKSK dilakukan dengan paduan obat siklofosfamid + vinkristin +
adriamisin menurut anjuran UICC atau sisplatin + etoposid. Jumlah penderita
jenis ini tidak begitu banyak, lagipula yang mampu menyediakan obat masih amat
terbatas. Karena itu, hasil pengobatan masih belum dapat dinilai secara cermat.
Tetapi terlihat 70% penderita mengalami respons subjektif yang cukup nyata.
Tampilan membaik pada 71,4% dan 14,3% mengalami kenaikan berat badan. Efek
samping berupa gangguan hemopoetik dan gejala gastrointestinal terlihat pada
semua kasus, 57% tidak mengalami kerontokan rambut dan respons objektif
terlihat pada 70% (ED-SCLC). Dua puluh lima persen penderita hidup sampai 15
bulan dan masa tengah tahan hidup 2-5 bulan (Data Div Onkologi dalam Anwar,
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI).
c. Pengobatan lain
Pengobatan lain yang dapat
dilakukan kepada penderita kanker paru adalah Imunoterapi, Hormonoterapi dan
Terapi Gen. Namun untuk ketiga pengobatan ini masih dalam tahap ujicoba dan
belum dipakai secara luas di Indonesia.
1.
Rehabilitasi
Penderita kanker yang menjadi cacat
karena komplikasi penyakitnya atau karena pengobatan kanker, perlu
direhabilitasi untuk mengembalikan bentuk dan/atau fungsi organ yang cacat itu
supaya penderita dapat hidup dengan layak dan wajar di masyarakat. Ada
bermacam-macam rehabilitasi yang perlu dilakukan seperti rehabilitasi mental,
rehabilitasi pekerjaan, rehabilitasi sosial dan lain-lain (Sukardja, 2000).
a.
Rehabilitasi mental
Penderita kanker paru yang
mengetahui dirinya mengidap kanker dapat menjadi stres dan merasa ia cepat mati
dalam keadaan yang menyedihkan, ia juga merasa dirinya tidak berguna lagi untuk
hidup yang hanya memberatkan beban keluarganya.
Depresi mental yang dihadapi
penderita kanker dan juga keluarganya umumnya disebabkan kurang pengertiannya
terhadap kanker atau karena salah persepsi akan penyakit kanker paru itu. Untuk
mengatasi depresi mental itu, perlu penderita dan atau kelurganya diberi
bimbingan mental dan penyuluhan tentang penyakit kanker itu. Kalau perlu dengan
bantuan seorang psikolog, ahli agama, atau tokoh masyarakat. Penderita perlu
diketahui bahwa sebenarnya penyakit kanker dapat disembuhkan asal saja dapat
diobati pada stadium dini. Bila tidak dapat disembuhkan lagi perlu pula diberitahu
bagaimana sebaiknya ia hidup dengan kanker, dan diajar bagaimana menyesuaikan
kehidupan dirinya dengan penyakit kanker yang dideritanya dan kenyataan yang
dihadapinya.
b.
Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi penting agar penderita
setelah pulang dari rumah sakit dapat hidup keembali secara normal di
masyarakat, dapat hidup mandiri di lingkungan keluarga dan masyarakat secara
wajar. Masyarakat juga perlu dipersiapkan agar dapat menerima penderita.
c.
Rehabilitasi Pekerjaan
Setelah penderita pulang dari rumah sakit
dan terbebas dari penyakit kanker yang dideritanya, diharapkan dapat bekerja
lagi di masyarakat dengan normal seperti sediakala. Bila tidak mungkin dapat
lagi bekerja seperti sedia kala, penderita diberi bimbingan dan latihan kerja (vocational
training), supaya dapat bekerja dengan pekerjaan lain sesuai dengan keadaan
fisik dan mentalnya (Sukardja, 2000).
2.
Prognosis
Prognosis penyakit buruk bukan
hanya karena keterlambatan diagnosis tetapi juga akibat respons sel kanker yang
rendah terhadap berbagai obat sitostatik yang ada.. Angka tahan hidup 1 tahun
2347 penderita kanker paru yang diteliti oleh National Cancer Institute pada
tahun 1983-1998, dihitung dengan life table method hanya 41,8% dan angka tahan
hidup 5 tahun 12,0 %. Berbagai data memperlihatkan bahwa hal itu berkaitan
dengan stage penyakit pada saat ditemukan (Greene, 2002).
Usaha–usaha preventif seharusnya
dapat dilakukan karena kaitan antara bahan karsinogen yang terkandung dalam
asap rokok dan polusi udara telah dapat dibuktikan secara ilmiah sebagai bagian
dari patogenesis kanker paru. Tetapi usaha preventif primer yaitu mencegah
orang merokok sangat sulit untuk dilakukan, demikian juga usaha penemuan
penyakit pada tahap dini juga belum menggembirakan. Akibatnya sangat sedikit
penderita yang terdeteksi pada stage dini, hal ini mengakibatkan terapi tidak
dapat lagi diberikan untuk tujuan kuratif. Di sisi lain tampak bahwa pemberian
multi-modality terapi pada penderita dapat memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan mereka yang hanya menerima modaliti tunggal. Bagaimanapun
pembedahan masih merupakan pengobatan kanker paru yang memberikan hasil yang
paling baik, bila dilakukan pada derajat yang operabel, yaitu stage I dan II
(intrapulmoner, intratorakal) serta pada jenis histologis yang cocok untuk
tindakan tersebut. Tetapi kesimpulan dari berbagai data menunjukkan bahwa umur
tahan hidup 5 tahun penderita kanker paru dengan TNM stage T1N0 dan T2N0 serta
telah menjalani reseksi lengkap (complete resection) masih berkisar antara
40-50% (Deslauriers, 2000). Di luar negeri angka tersebut cukup tinggi,
sedangkan data di Indonesia hanya 10-25% penderita menjalani pembedahan
(Busroh, 1988) dengan angka tahan hidup penderita kanker yang dibedah 1 tahun
56,6%, 2 tahun 16,4% dan 5 tahun 2,4% ( Burhan, 2004).
3. Penatalaksanaan
Pada Keadaan Khusus
3.1 Efusi
Pleura Ganas (EPG)
Rongga pleura pada orang sehat
berisi sekitar 20 ml cairan. Efusi pleura (Cairan pleura) normal ini biasanya
bersih tidak berwarna, mengandung < 1,5 gr protein/ 100 ml dan 1.500 sel/ microliter.
Efusi pleura dapat terjadi pada penyakit tumor ganas intratoraks, organ
ekstratoraks maupun keganasan sistemik. Seperti pada penderita efusi pleura
lain, EPG memberikan gejala sesak napas, napas pendek, batuk, nyeri dada dan
isi dada terasa penuh. Gejala ini sangat bergantung pada jumlah cairan dalam
rongga pleura. Pada pemeriksaan fisik ditemukan gerakan diafragma berkurang dan
deviasi trakea dan/atau jantung kearah kontralateral, fremitus melemah, perkusi
redup dan suara napas melemah pada sisi toraks yang sakit. Pada kanker paru,
infiltrasi pleura oleh sel tumor dapat terjadi sekunder akibat perluasan
langsung (inviltrasi), terutama tumor jenis adenokarsinoma yang letaknya
perifer. Dapat juga terjadi akibat metastasis ke pembuluh darah dan getah
bening. Bila efuasi pleura terjadi akibat metastasis, cairan pleuranya banyak
mengandung sel tumor ganas sehingga pemeriksaan sitologi cairan pleura dapat
diharapkan memberi hasil positif.
Efusi pleura ganas mempunyai 2
aspek penting dalam penatalaksaannya yaltu pengobatan lokal dan pengobatan
kausal. Pengobatan kausal disesuaikan dengan stage dan jenis tumor. Tidak
jarang tumor primer sulit diternukan, maka aspek pengobatan lokal menjadi
pilihan dengan tujuan untuk mengurangi sesak napas yang sangat mengganggu,
terutama bila produksi cairan berlebihan dan cepat. Tindakan yang dapat
dilakukan antara lain, punksi pleura, pemasangan WSD dan pleurodesis untuk
mengurangi produksi cairan. Zat-zat yang dapat dipakal, antara lain talk,
tetrasikiin, mitomisin-C, adriamisin dan bleomisin. Bila tumor primer berasal
dari paru dan dari cairan pleura diternukan sel ganas maka EPG termasuk T4,
tetapi bila diternukan sel ganas pada biopsi pleura termasuk stage IV. Bila
setelah dilakukan berbagai pemeriksaan tumor primer paru tidak diternukan, dan
tumor-tumor di luar paru juga tidak dapat dibuktikan, maka EPG dianggap berasal
dari paru. Apabila tumor primer diternukan di luar paru, maka EPG ini termasuk
gejala sisternik tumor tersebut dan pengobatan disesuaikan dengan penatalaksanaan
untuk pengobatan kanker primernya (PDPI,2003).
3.2
Sindrom Vena Kava Superior (SVSC)
Sindrom vena kava superior muncul
bila terjadi gangguan aliran oleh berbagai sebab, di antaranya tumor paru dan
tumor mediastinum. Gangguan ini pada penderita kanker paru muncul akibat
penekanan atau invasi massa ke vena cava superior, sehingga menimbulkan gejala
SVKS. Keluhan yang ditimbulkan tergantung berat ringannya gangguan, sakit
kepala, sesak napas, batuk, sinkope, sakit menelan, dan batuk darah. Pada keadaan
berat selain gejala sesak napas yang hebat dapat dilihat pembengkakan leher dan
lengan kanan disertai pelebaran vena-vena subkutan leher dan dada. Keadaan ini
kadang-kadang memerlukan tindakan emergensi untuk mengatasi keluhan
(PDPI,2003).
Berdasarkan PDPI (2003)
penatalaksanaan kanker paru pada kasus SVSC adalah bila keadaan umurn penderita
baik (PS > 50) maka harus dilakukan prosedur diagnostik untuk mendapatkan
jenis sel kanker. Narnun tindakan radiasi cito harus segera diberikanbila
keluhan sesak napas sangat berat dan setelah gejala berkurang, prosedur
diagnostik harus dilakukan. Tindakan radioterapi selanjutnya tergantung dari
kondisi berikut ini:
a.
Bila belum ada hasil pemeriksaan
patotogi anatomi : radiasi 2-3 Gy perfraksi, dengan penilaian klinis setiap
hari. Tindakan bedah harus dipikirkan bila respons tidak mernuaskan.
b.
Bila hasil patologi anatomi sudah ada:
·
Untuk keadaan gawat darurat penyinaran
dapat diberikan dengan dosis 3 Gy/fraksi.
·
Bila tidak gawat darurat, dosis radiasi
berdasarkan staging penyakit.
·
Untuk stage IV, dosis 3 Gy/fraksi sampai
10 kali atau Dosis 4 Gy/fraksi sampai 5 kali.
3.3 Obstruksi
Bronkus
Obstruksi terjadi karena tumor
intrabronkial menyumbat langsung atau tumor diluar bronkus menekan bronkus
sehingga terjadi sumbatan. Sumbatan intrabronkial dapat parsial atau total dan
kadang-kadang diperlukan tindakan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita.
Keluhan sesak napas disertai napas berbunyi dapat terjadi pada obstruksi yang
hebat. Keluhan akan bertambah bila disertai “mucus plug”. Pada pemeriksaan
jasmani akan ditemukan bunyi napas melemah pada sisi paru yang sakit, dan dapat
dijumpai pula bunyi napas patologis, misalnya mengi pada ekspirasi dan
inspirasi, suara ekspirasi memanjang atau stidor bila sumbatan pada jalan napas
yang besar (PDPI, 2003).
Berdasarkan PDPI,
penatalaksanaannya adalah dengan melakukan bronchial toilet bila
terdapat mucus plug. Bronkoskopi lase diikuti pemasangan stent dapat
dilakukan bila tebal sumbatan intrabronkial nnasih dapat diketahui. Hal Inl
diperlukan agar komplikasi tindakan laser tidak terjadi dan juga dibutuhkan
untuk mengetahui ukuran stent yang diperlukan. Bila sumbatan disebabkan oleh
penekanan massa ekstrabronkial, atau sumbatan intrabronkial tidak dapat diatasi
dengan bronkoskopi laser dan pemasangan stent maka tindakan bedah perlu
dipikirkan. Pada keadaan tertentu dapat diberikan radiasi endobronkial
(brachytherapy) pada batas proksimal dan distal 3 cm dari penyempitan, dosis :
(5 - 8 Gy) 1 cm dari sumbu sumber radio aktif. Apabila radiasi endobronkial
tidak dapat dikerjakan, maka dapat diberikan radiasi ekstemal di daerah bronkus
yang menyempit dan daerah mukosa dengan dosis 3-4 Gy/fraksi subjek.
3.4
Batuk Darah (Hemoptasis)
Hemoptisis pada kanker paru juga
terkadang memerlukan segera karena dapat mengancam nyawa. Pada batuk darah
masif harus dilakukan segera tindakan bronkoskopi, selain untuk membuang bekuan
darah ( stool cell), tindakan ini juga perlu untuk mengetahui sumber perdarahan
yang bermanfaat bila diperlukan pembedahan untuk mengatasinya. Radiasi adalah
salah satu noninvasiv untuk batuk darah.Target volume dan dosis seperti pada
obstruksi bronkus (PDPI, 2003).
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Kesimpulan
1) Sel kanker adalah sel normal yang
mengalami mutasi/perubahan genetik dan tumbuh tanpa terkoordinasi dengan
sel-sel tubuh lain.
3) Gambaran klinik penyakit kanker
paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya, terdiri dari keluhan
subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis akan didapat keluhan utama dan
perjalanan penyakit, serta faktor–faktor lain yang sering sangat membantu
tegaknya diagnosis.
4.2 Saran
1. Perlunya Upaya Kesehatan bagi Penderita
penyakit paru yakni melaksanakan upaya Promotif, Perilaku Hidup Sehat, Upaya
Preventif, Upaya Kuratif, dan Upaya Rehabilitatif,
2. Perlunya Program alternatif yang
lebih memperhatikan aspek psikologis penderita penyakit paru dengan cara
mengintegrasikan dengan program pemerintah yang lainnya.
3. Perlunya sosialisasi terhadap
seluruh kelompok umur masyarakat, agar lebih memahami karakteristik penderita
penyakit paru serta faktor resiko dan juga karakterisitik penyakit pada lansia.
DAFTAR
PUSTAKA
Alsagaf, H. 1995. Kanker Paru dan
Terapi Paliatif. Penerbit Airlangga, Surabaya:11-14
Arisandi, Defa. 2008. Asuhan
Keperawatan Pada Klien Dengan Kanker Paru. Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan
Muhammadiyah. Pontianak
Aditama,
T.Y. 1992. Polusi Udara Dan Kesehatan. ARCAN
Anwar J, Elisna S, Ahmad H. Kemoterapi
Kanker Paru .Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia-RS Persahabatan, Jakarta
Budiono, I. 2007. Faktor Risiko
Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Pengecatan Mobil (Studi pada Bengkel
Pengecatan Mobil di Kota Semarang). Tesis. Program Studi Magister
Epidemiologi Universitas Diponegoro. Semarang
Burhan E. 2004. Angka tahan hidup
penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil yang layak dibedah.
Tesis. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI, Jakarta
Busroh, I. 1988. Peranan bedah dalam
menanggulangi tumor ganas paru. Dalam: Pencegahan, diagnosis dini dan
pengobatan penyakit kanker, FKUI, Jakarta
Bustan. 2007. Epidimiologi Penyakit
Tidak Menular. Rineka Cipta. Jakarta
Data Divisi Onkologi Toraks. Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI / RS Persahabatan (belum
dipublikasi).
Deslauriers J, Gregoire J. Surgical
therapy of early non-small cell lung cancer.
Chest
2000; 117: 104S-9S
Diananda,
Rahma. 2007. Mengenal Seluk Beluk Kanker. Kata Hati. Yogyakarta
Fraumeni, J. F, Jr dan Blot, William. J.
1982. Cancer Epidemiology And Prevention: Lung And Pleura. Press of W. B
Saunders Company. United States of America.
Greene FL, Page DL, Fleming ID, Fritz
AG, Balch CM, Haller DG, et al. Cancer Survival Analysis. In : AJJ
Cancer Staging handbook. 6th ed, Springer, New York, 2002, p. 15-25
Gondodiputro, Sharon,2007. Bahaya
Tembakau dan Bentuk-bentuk Sediaan Tembakau. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran. Bandung
Jusuf A, Harryanto A, Syahruddin E,
Endardjo S, Mudjiantoro S, Sutantio N. 2005. Kanker paru jenis karsinoma
bukan sel kecil. Pedoman Nasional untuk diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia 2005. Ed. Jusuf A, Syahruddin E. PDPI dan POI, Jakarta
Landis SH, Murray T, Bolden S, Wingo PA.
1998. Cancer Statistic 1998. CA Cancer J Clin 1998 ; 48 : 6-29.
Lutfia, Umi. 2008. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Tingkat Kecemasan Pasien Dengan Tindakan Kemoterapi Di Ruang
Cendana RSUD DR. Moewardi Surakarta. Skripsi. S-1 Keperawatan, Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Mangunnegoro, H. 1990. Menyongsong
Era Kanker Paru di Indonesia. Dalam: Yunus, F et al (eds). Simposium Kanker
Paru Diagnosis dan Terapi, 10/3, 1990. Bagian Pulmonologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 1-8
Murray JF. 2010. The Year of The Lung.
Int J tuberc Lung Dis 2010; 14:1-4.
Nasar, I, M. 2000. Situasi Penyakit
Kanker di Akhir Abad ke-20
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. 2003. Kanker Paru. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Soedomo. M, Kumpulan Karya Ilmiah
Mengenai Pencemaran Udara. ITB, Bandung, 1999.
Sukardja,
IDG. 2000. Onkologi Klinik. Airlangga University Press: Surabaya
Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan
Dengan Menerapkan ISO 14001. Grasindo. Jakarta
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Syaifudin, Mukh. 2007. Gen penekan
tumor p53, kanker dan radiasi pengion Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi
Radiasi Batan. Jakarta Buletin Alara, Volume 8 Nomor 3, April
2007,119 – 128
Toh CK, Hee SW, Lim WT, Leong SS, Fong
KW, Yap SP, et al. 2007. Survival of smallcell lung cancer and its
determinants of outcome in Singapore. Ann Acad Med Singapore. 2007
Mar;36(3):181-8.
Wahyuningsih, Faisal Yunus, Mukhtar
Ikhsan. Dampak inhalasi catsemprot terhadap kesehatan paru. Cermin
kedokteran (138). 2003 : 12-17.
Wasripin, 2007. Pemeriksaan CT SCAN
THORAX Pada Kasus Kanker Paru. Makalah pada Seminar Persatuan Ahli
Radiografi Indonesia, 18-20 Mei 2007. Denpasar Bali
www.emedicinehealth.com
Posting Komentar