Segala puji hanya bagi Allah, yang telah menyampaikan kita dipenghujung 10 hari kedua bulan Ramadhan. Sebentar lagi kita akan memasuki 10 ketiga atau terakhir bulan Ramadhan. Hari-hari yang memiliki kelebihan dibanding lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada 10 terakhir Ramadhan ini meningkat amaliah ibadah beliau yang tidak beliau lakukan pada hari-hari lainnya.
Ummul Mu`minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada 10 terakhir Ramadhan :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر - أي العشر الأخير من رمضان - شد مئزره، وأحيا ليله، وأيقظ أهله . متفق عليه
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki 10 terakhir Ramadhan, beliau mengencangkan tali sarungnya (yakni meningkat amaliah ibadah beliau), menghidupkan malam-malamnya, dan membangunkan istri-istrinya.” Muttafaqun ‘alaihi
Keutamaan 10 Terakhir bulan Ramadhan :
Pertama : Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serius dalam melakukan amaliah ibadah lebih banyak dibanding hari-hari lainnya. Keseriusan dan peningkatan ibadah di sini tidak terbatas pada satu jenis ibadah tertentu saja, namun meliputi semua jenis ibadah baik shalat, tilawatul qur`an, dzikir, shadaqah, dll.
Kedua : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan istri-istri beliau agar mereka juga berjaga untuk melakukan shalat, dzikir, dan lainnya. Hal ini karena semangat besar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar keluarganya juga dapat meraih keuntungan besar pada waktu-waktu utama tersebut. Sesungguhnya itu merupakan ghanimah yang tidak sepantasnya bagi seorang mukmin berakal untuk melewatkannya begitu saja.
Ketiga : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada 10 Terakhir ini, demi beliau memutuskan diri dari berbagai aktivitas keduniaan, untuk beliau konstrasi ibadah dan merasakan lezatnya ibadah tersebut.
Keempat : Pada malam-malam 10 Terakhir inilah sangat besar kemungkinan salah satu di antaranya adalah malam Lailatur Qadar. Suatu malam penuh barakah yang lebih baik daripada seribu bulan.
Keutamaan Lailatul Qadr
Di antara nikmat dan karunia Allah subhanahu wa ta’ala terhadap umat Islam, dianugerahkannya kepada mereka satu malam yang mulia dan mempunyai banyak keutamaan. Suatu keutamaan yang tidak pernah didapati pada malam-malam selainnya. Tahukah anda, malam apakah itu? Dia adalah malam “Lailatul Qadr”. Suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, sebagaimana firman Allah I:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ * لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ * تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ * سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ *
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadr). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan (Lailatul Qadr) itu? Malam kemuliaan itu (Lailatul Qadr) lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar”. (Al-Qadr: 1-5)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Bahwasanya (pahala) amalan pada malam yang barakah itu setara dengan pahala amalan yang dikerjakan selama 1000 bulan yang tidak ada padanya Lailatul Qadr. 1000 bulan itu sama dengan 83 tahun lebih. Itulah di antara keutamaan malam yang mulia tersebut. Maka dari itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha untuk meraihnya, dan beliau bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِإِيْمَاناًوَاحْتِسَاباً،غُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمُ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr atas dorongan iman dan mengharap balasan (dari Allah), diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. (H.R Al Bukhari no.1768, An Nasa’i no. 2164, Ahmad no. 8222)
Demikian pula Allah subhanahu wa ta’ala beritakan bahwa pada malam tersebut para malaikat dan malaikat Jibril turun. Hal ini menunjukkan betapa mulia dan pentingnya malam tersebut, karena tidaklah para malaikat itu turun kecuali karena perkara yang besar. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mensifati malam tersebut dengan firman-Nya:
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar
Allah subhanahu wa ta’ala mensifati bahwa di malam itu penuh kesejahteraan, dan ini merupakan bukti tentang kemuliaan, kebaikan, dan barakahnya. Barangsiapa terhalangi dari kebaikan yang ada padanya, maka ia telah terhalangi dari kebaikan yang besar”. (Fatawa Ramadhan, hal. 848)
Wahai hamba-hamba Allah, adakah hati yang tergugah untuk menghidupkan malam tersebut dengan ibadah …?!, adakah hati yang terketuk untuk meraih malam yang lebih baik dari 1000 bulan ini …?! Betapa meruginya orang-orang yang menghabiskan malamnya dengan perbuatan yang sia-sia, apalagi dengan kemaksiatan kepada Allah.
Mengapa Disebut Malam “Lailatul Qadr”?
Para ulama menyebutkan beberapa sebab penamaan Lailatul Qadr, di antaranya:
1. Pada malam tersebut Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan secara rinci takdir segala sesuatu selama 1 tahun (dari Lailatul Qadr tahun tersebut hingga Lailatul Qadr tahun yang akan datang), sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ * فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ * [الدخان/3، 4]
“Sesungguhnya Kami telah menurukan Al-Qur`an pada malam penuh barakah (yakni Lailatul Qadr). Pada malam itu dirinci segala urusan (takdir) yang penuh hikmah”. (Ad Dukhan: 4)
2. Karena besarnya kedudukan dan kemuliaan malam tersebut di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
3. Ketaatan pada malam tersebut mempunyai kedudukan yang besar dan pahala yang banyak lagi mengalir. (Tafsir Ath-Thabari IV/200)
Kapan Terjadinya Lailatul Qadr?
Malam “Lailatul Qadr” terjadi pada bulan Ramadhan.
Pada tanggal berapakah? Dia terjadi pada salah satu dari malam-malam ganjil 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِفِي الْوِتْرِمِنَ الْعَشْرِالْأَوَاخِرِمِنْ رَمَضَانَ
“Carilah Lailatul Qadr itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan)”. (H.R Al Bukhari no. 1878)
Lailatul Qadr terjadi pada setiap tahun. Ia berpindah-pindah di antara malam-malam ganjil 10 hari terakhir (bulan Ramadhan) tersebut sesuai dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Lailatul Qadr itu (dapat) berpindah-pindah. Terkadang terjadi pada malam ke-27, dan terkadang terjadi pada malam selainnya, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits yang banyak jumlahnya tentang masalah ini. Sungguh telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Bahwa beliau pada suatu tahun diperlihatkan Lailatul Qadr, dan ternyata ia terjadi pada malam ke-21″. (Fatawa Ramadhan, hal.855)
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud rahimahumallahu berkata: “Adapun pengkhususan (memastikan) malam tertentu dari bulan Ramadhan sebagai Lailatul Qadr, maka butuh terhadap dalil. Akan tetapi pada malam-malam ganjil dari 10 hari terakhir Ramadhan itulah dimungkinkan terjadinya Lailatul Qadr, dan lebih dimungkinkan lagi terjadi pada malam ke-27 karena telah ada hadits-hadits yang menunjukkannya”. (Fatawa Ramadhan, hal.856)
Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan t:
عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ إِذَا قَالَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ: لَيْلَةُ سَبْع وَعِشْرِيْنَ
Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya apabila beliau menjelaskan tentang Lailatul Qadr maka beliau mengatakan : “(Dia adalah) Malam ke-27″. (H.R Abu Dawud, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan Asy-Syaikh Muqbil dalam Shahih Al-Musnad)
Kemungkinan paling besar adalah pada malam ke-27 Ramadhan. Hal ini didukung penegasan shahabat Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu :
عن أبي بن كعب قال : قال أبي في ليلة القدر : والله إني لأعلمها وأكثر علمي هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين
Demi Allah, sungguh aku mengetahui malam (Lailatul Qadr) tersebut. Puncak ilmuku bahwa malam tersebut adalah malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menegakkan shalat padanya, yaitu malam ke-27. (HR. Muslim)
Tanda-tanda Lailatul Qadr
Pagi harinya matahari terbit dalam keadaan tidak menyilaukan, seperti halnya bejana (yang terbuat dari kuningan). (H.R Muslim)
Lailatul Qadr adalah malam yang tenang dan sejuk (tidak panas dan tidak dingin) serta sinar matahari di pagi harinya tidak menyilaukan. (H.R Ibnu Khuzaimah dan Al Bazzar)
Dengan Apakah Menghidupkan 10 Terakhir Ramadhan dan Lailatul Qadr?
Asy-Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz dan Asy Syaikh Abdullah bin Qu’ud rahimahumallahu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih bersungguh-sungguh beribadah pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan untuk mengerjakan shalat (malam), membaca Al-Qur’an, dan berdo’a daripada malam-malam selainnya”. (Fatawa Ramadhan, hal.856)
Demikianlah hendaknya seorang muslim/muslimah … Menghidupkan malam-malamnya pada 10 Terakhir di bulan Ramadhan dengan meningkatkan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala; shalat tarawih dengan penuh iman dan harapan pahala dari Allah I semata, membaca Al-Qur’an dengan berusaha memahami maknanya, membaca buku-buku yang bermanfaat, dan bersungguh-sungguh dalam berdo’a serta memperbanyak dzikrullah.
Di antara bacaan do’a atau dzikir yang paling afdhal untuk dibaca pada malam (yang diperkirakan sebagai Lailatul Qadr) adalah sebagaimana yang ditanyakan Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah jika aku mendapati Lailatul Qadr, do’a apakah yang aku baca pada malam tersebut?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bacalah:
اللهم إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Ya Allah sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Pemberi Maaf, Engkau suka pemberian maaf, maka maafkanlah aku”. (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Maka hendaknya pada malam tersebut memperbanyak do’a, dzikir, dan istighfar.
Apakah pahala Lailatul Qadr dapat diraih oleh seseorang yang tidak mengetahuinya?
Ada dua pendapat dalam masalah ini:
Pendapat Pertama: Bahwa pahala tersebut khusus bagi yang mengetahuinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama. Yang menunjukkan hal ini adalah riwayat yang terdapat pada Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafazh:
مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِفَيُوَافِقُهَا
“Barangsiapa yang menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr dan menepatinya.”
{kalimat فيوافقها di sini diartikan: mengetahuinya (bahwa itu Lailatul Qadr), pen-}
Menurut pandanganku pendapat inilah yang benar, walaupun aku tidak mengingkari adanya pahala yang tercurahkan kepada seseorang yang mendirikan shalat pada malam Lailatul Qadr dalam rangka mencari Lailatul Qadr dalam keadaan ia tidak mengetahui bahwa itu adalah malam Lailatul Qadr”.
Pendapat Kedua: Didapatkannya pahala (yang dijanjikan) tersebut walaupun dalam keadaan tidak mengetahuinya. Ini merupakan pendapat Ath-Thabari, Al-Muhallab, Ibnul ‘Arabi, dan sejumlah dari ulama.
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat ini, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kitabnya Asy-Syarhul Mumti’:
“Adapun pendapat sebagian ulama bahwa tidak didapatinya pahala Lailatul Qadr kecuali bagi yang mengetahuinya, maka itu adalah pendapat yang lemah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِإِيْمَاناًوَاحْتِسَاباً،غُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr dalam keadaan iman dan mengharap balasan dari Allah I, diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu”. (H.R Al Bukhari no.1768, An Nasa’i no. 2164, Ahmad no. 8222)
Rasulullah tidak mengatakan: “Dalam keadaan mengetahui Lailatul Qadr”. Jika hal itu merupakan syarat untuk mendapatkan pahala tersebut, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan pada umatnya. Adapun pendalilan mereka dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِفَيُوَافِقُهَا
“Barangsiapa yang menegakkan shalat pada malam Lailatul Qadr dan menepatinya.”
Maka makna فيوافقها di sini adalah: bertepatan dengan terjadinya Lailatul Qadr tersebut, walaupun ia tidak mengetahuinya”.
Semoga anugerah Lailatul Qadr ini dapat kita raih bersama, sehingga mendapatkan keutamaan pahala yang setara (bahkan) melebihi amalan 1000 bulan. Amiin Ya Rabbal ‘Alamin.
Assalamu’alaikum warah matullahi wabarokatuh,
Sahabat JI, Dalam Al-Qur’an, Surat Ali Imran, ayat 19:
Bismillaahir rahmaanir rahiim,
“Innad diina ‘indallahil islaamu wa makhtalafal ladziina uutul kitaaba illaa mimba’di maa jaa-a humul ‘ilmu baghyam bainahum wa may yakfur bi aayaatillaahi fa innallaaha sarii’ul hisaab”
Yang Artinya:
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih,Maha Penyayang,
“Sesungguhnya agama di sisi Allah (hanyalah) Islam. Tiada berselisih orang-orang yang diberi Kitab kecuali sesudah datang ilmu (keterangan) kepada mereka disebabkan kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang ingkar akan ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya”
Setiap kali kita memasuki bulan Desember, selalu saja ada persoalan tentang hubungan antar ummat Islam dengan mereka yang beragama Nasrani. Terutama tentang bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap teman, terhadap tetangga, mungkin juga terhadap kerabat atau keluarga yang kebetulan beragama Nasrani; baik Katolik, Kristen maupun Protestan ataupun lainnya. Hal ini disebabkan pada bulan tersebut terdapat tanggal 25 Desember yang dirayakan sebagai hari Natal.
Persoalan yang biasanya muncul ke permukaan adalah; bolehkah kita mengucapkan selamat hari Natal kepada mereka ummat kristiani itu? Kemudian, pertanyaan berikutnya, bolehkah kita datang berkunjung ke rumah mereka yang merayakan hari raya itu? Bahkan lebih jauh lagi, bolehkah kita menghadiri pernikahan atau mengunjungi mereka yang tertimpa musibah kematian? Pertanyaan-pertanyaan itu senantiasa mengganggu dan membelenggu sebagian ummat Islam, sehingga mempersulit hubungan diantara mereka dalam bermasyarakat.
Terdapat sejumlah dasar-dasar teologis yang harus kita jadikan pedoman dalam menyikapi pertanyaan-pertanyaan yang serupa itu. Dari sejumlah ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah al Nabawiyah (hadits-hadits Nabi Muhammad SAW), kita mendapatkan dasar-dasar aqidah yang kuat sebagai landasan dalam kita bergaul dengan sesama ummat beragama.
Yang pertama, menurut Al Qur’an, agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam (Al-Qur’an, Surat Ali Imran, ayat 19). Bermula dari keyakinan ini, maka semua agama selain Islam haruslah bukan menjadi pegangan dan anutan kita yang bertauhid. Hal itu didukung oleh ajaran dalam Al-Qur’an : “Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Ali Imran, ayat 85). Selain itu, Islam – berdasarkan petunjuk Allah SWT sendiri dalam Al Qur’an – adalah agama yang sempurna, nikmat yang besar, serta agama yang telah diridloi Allah SWT. Hal seperti itu ditegaskan Allah SWT dalam Al Qur’an, surat Al Maidah, ayat 3 :”Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-KU, dan telah Aku ridloi Islam itu menjadi agama bagimu”
Berlandaskan pada bunyi dan isi ayat-ayat tersebut di atas, maka kita harus memiliki keyakinan bahwa apa yang selama ini telah kita lakukan dan kita anut adalah sudah benar dan sudah berjalan di atas jalan yang sebenarnya (on the right track). Karenanya, kita tidak perlu ragu-ragu lagi dengan keyakinan kita.
Syeikh Abu Bakar Jabir al-Jazairy, Imam Besar Masjid Nabawi di Madinah, dalam bukunya “Minhaj al-Muslim” menyebutkan bahwa dengan berita wahyu dari Allah SWT itu, kaum Muslimin mengetahui bahwa semua agama sebelum Islam telah diganti oleh Islam. Islam menjadi agama bagi seluruh ummat manusia. Sehingga Allah SWT tidak akan menerima dari seseorang selain Islam dan Allah SWT tidak meridloi syariat agama selain Islam.
Lebih lanjut, Imam Besar itu menyatakan: dari segi ini kaum Muslimin melihat bahwa orang yang tidak menganut Islam adalah berstatus kufur.
Berpijak pada alasan-alasan teologis itulah, Imam Besar itu kemudian memberikan fatwanya tentang bagaimana beradab terhadap orang bukan Islam, sebagai berikut: Tidak mengakui dan tidak ridlo dengan kekufuran. Karena ridla dengan kekufuran adalah kufur. Benci terhadap kekufuran atas dasar karena Allah SWT membencinya. Oleh sebab itu, kita harus cinta dan benci karena Allah SWT; selagi Allah SWT membenci kekufuran, maka orang Islam juga harus membenci kepada orang yang kufur dengan alasan karena Allah SWT membencinya.
Lebih lanjut, Imam Besar menyatakan, ummat Islam tidak mengangkat orang kafir menjadi pemimpin dan tidak menaruh rasa cinta kepadanya. Hal itu didasarkan atas firman Allah SWT dalam Al Qur’an : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin” (QS. Surat An-Nisa, ayat 144).
Dengan demikian, jika kita membaca pandangan Imam Besar Masjid Nabawi itu, seluruhnya bernada negative, tetapi jika kita telusuri lebih lanjut, ternyata banyak pula, bahkan lebih banyak pandangannya yang positive dalam hubungan antara ummat Islam dengan mereka yang bukan Islam. Syeikh Abu Bakar Jabir al-Jazairy selanjutnya menyatakan: “Hendaklah berlaku adil dan berbaik-baikan dengan orang kafir selama mereka tidak memerangi Islam”.
Pandangannya itu didasarkan pada firman Allah SWT dalam QS. Surat Al-Mumtahanah, ayat 8; yang artinya: “Allah SWT tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan (tidak) pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Ayat tersebut memperbolehkan hakim atau pengadilan untuk berlaku adil, bahkan seharusnya berlaku demikian, serta berbuat baik terhadap orang-orang yang tidak memerangi Islam. Karenanya, bisa difahami mengapa dalam kepustakaan keislaman kita mengenal sedikitnya ada dua pengelompokkan terhadap orang-orang kafir; yaitu ke satu kafir dzimmy adalah orang kafir yang tidak memerangi Islam dan bersikap bersahabat dengan ummat Islam.
Kepada mereka sepatutnya kita memposisikannya dengan baik dan adil tanpa diskriminasi. Selain itu yang ke dua adalah kafir harby yaitu orang bukan Islam yang bersikap memusuhi Islam dan berlaku tidak bersahabat dengan ummat Islam. Kepada mereka tentu saja berlaku sifat dan sikap yang adil, yaitu memerangi mereka jika mereka memerangi kita.
Kemudian Abu Bakar Jabir al-Jazairy lebih lanjut mengatakan lagi bahwa hendaklah kita bersikap kasih kepada orang kafir sebagai sesama makhluk, seperti halnya memberi makan jika mereka lapar, memberi minum jika mereka haus,dan memberinya obat jika mereka sakit. Serta melindungi mereka dari bencana dan menjauhkannya dari mara bahaya.
Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda: “Kasihilah makhluk di bumi, maka akan mengasihimu yang di langit”. Kemudian, dalam hadits lain, beliau bersabda: “Pada setiap makhluk yang mempunyai hati ada pahala” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Sebagai orang yang beriman kita dianjurkan untuk tidak saling menyakiti dan tidak saling mengganggu. Baik terhadap harta, darah atau kehormatannya, selama mereka tidak memerangi kita.
Rasulullah SAW bersabda, Allah SWT berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya telah Aku haramkan kezaliman itu atas nama diri-Ku dan diri kalian. Maka, janganlah kamu saling menzalimi”.
Bahkan, dalam hadits lain riwayat Muslim, rasulullah bersabda: ”Barangsiapa berbuat zalim kepada ahli dzimmah (kafir dzimmy), maka saya adalah musuhnya pada hari kiamat” (HR. Muslim).
Abu Bakar Jabir al-Jazairy, menyatakan lebih lanjut; bahwa dibolehkan memberi hadiah kepada orang kafir dan menerima hadiahnya. Misalkan, ketika kita diundang untuk datang pada resepsi pernikahan keluarga bukan Muslim, kemudian kita memberikan hadiah kepada pengantin, maka hal itu dibolehkan. Begitu pula sebaliknya, jika kita mengadakan pesta resepsi pernikahan putra atau putri kita, kemudian diantara yang diundang terdapat teman ataupun kerabat yang kebetulan bukan Muslim; maka jika mereka memberi hadiah dalam hubungannya dengan pesta pernikahan itu; menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy diperbolehkan. Mengacu pada ayat dalam Al Qur’an dibolehkan pula memakan makanan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Tentu saja sepanjang hal itu bukan termasuk yang jelas-jelas dilarang dalam Al Qur’an, seperti halnya daging babi, dalam hadits seperti halnya daging anjing atau sejenisnya.
Dalam QS. Al-Maidah, ayat 5; disebutkan: “Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab itu halal bagimu”. Selain itu berdasarkan hadits shahih yang mengemukakan bahwasanya Nabi Muhammad SAW pernah diundang makan oleh orang Yahudi di Madinah, kemudian beliau datang memenuhi undangan tersebut dan memakan makanan yang disediakan oleh mereka.
Dalam hubungan antar ummat beragama ini, kita tidak diperbolehkan mengawinkan perempuan Mukmin dengan laki-laki (orang) kafir.
Tetapi, laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan ahli Kitab, sesuai dengan ayat dalam Al Qur’an ini: “....(dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik..” (QS. Al-Maidah, ayat 5).
Kita tidak dianjurkan untuk mengucapkan salam kepada orang kafir dengan ucapan: “Assalamu’alaikum warah matullahi wabarokatuh”. Tetapi jika mereka mengucapkan salam kepada kita, berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW, maka kita cukup menjawabnya dengan: “Wa’alaikum”.
Hal itu didasarkan atas hadits Rasulullah SAW: “Apabila ahli kitab memberi salam kepadamu, maka ucapkanlah ”wa ‘alaikum”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Mendatangi teman, kerabat ataupun keluarga yang merayakan hari Natal, telah ada pedoman dari Majelis Ulama Indonesia, bahwa sepanjang bukan bersifat ritual (ibadat), maka hal itu dapat diperbolehkan. Misalkan untuk keperluan seremonial saja. (Disadur dr H. Soetrisno Hadi, Nuansa Islami, Minhajul-Muslim, edisi 703/tahun XII-23 Dzulhijjah 1430 H).
Billahi Taufik wal Hidayah,
Wassalam,
Bolehkah seorang Muslim mengucapkan "selamat
natal" ???
Bolehkah
Seorang Muslim Mengucapkan ‘Selamat Natal’?
Alhamdulillahi
robbil ‘alamin, wa shalaatu wa salaamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa
shohbihi wa sallam.
Sudah sering
kita mendengar ucapan semacam ini menjelang perayaan Natal yang dilaksanakan
oleh orang Nashrani. Mengenai dibolehkannya mengucapkan selamat natal ataukah
tidak kepada orang Nashrani, sebagian kaum muslimin masih kabur mengenai hal
ini. Sebagian di antara mereka dikaburkan oleh pemikiran sebagian orang yang
dikatakan pintar (baca : cendekiawan), sehingga mereka menganggap bahwa
mengucapkan selamat natal kepada orang Nashrani tidaklah mengapa (alias
‘boleh-boleh saja’). Bahkan sebagian orang pintar tadi mengatakan bahwa hal ini
diperintahkan atau dianjurkan.
Namun untuk
mengetahui manakah yang benar, tentu saja kita harus merujuk pada Al Qur’an dan
As Sunnah, juga pada ulama yang mumpuni, yang betul-betul memahami agama ini.
Ajaran islam ini janganlah kita ambil dari sembarang orang, walaupun mungkin
orang-orang yang diambil ilmunya tersebut dikatakan sebagai cendekiawan. Namun
sayang seribu sayang, sumber orang-orang semacam ini kebanyakan merujuk pada
perkataan orientalis barat yang ingin menghancurkan agama ini.
Mereka
berusaha mengutak-atik dalil atau perkataan para ulama yang sesuai dengan hawa
nafsunya. Mereka bukan karena ingin mencari kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya,
namun sekedar mengikuti hawa nafsu. Jika sesuai dengan pikiran mereka yang
sudah terkotori dengan paham orientalis, barulah mereka ambil. Namun jika tidak
bersesuaian dengan hawa nafsu mereka, mereka akan tolak mentah-mentah. Ya
Allah, tunjukilah kami kepada kebenaran dari berbagai jalan yang
diperselisihkan –dengan izin-Mu-
Semoga
dengan berbagai fatwa dari ulama yang mumpuni ini, kita mendapat titik terang
mengenai permasalahan ini.
Fatwa
Pertama – Mengucapkan Selamat Natal dan Merayakan Natal Bersama
Berikut
adalah fatwa ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin
rahimahullah, dari kumpulan risalah (tulisan) dan fatwa beliau (Majmu’ Fatawa
wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin), 3/28-29, no. 404.
Beliau
rahimahullah pernah ditanya,
“Apa hukum
mengucapkan selamat natal (Merry Christmas) pada orang kafir (Nashrani) dan
bagaimana membalas ucapan mereka? Bolehkah kami menghadiri acara perayaan
mereka (perayaan Natal)? Apakah seseorang berdosa jika dia melakukan hal-hal
yang dimaksudkan tadi, tanpa maksud apa-apa? Orang tersebut melakukannya karena
ingin bersikap ramah, karena malu, karena kondisi tertekan, atau karena
berbagai alasan lainnya. Bolehkah kita tasyabbuh (menyerupai) mereka dalam
perayaan ini?”
Beliau
rahimahullah menjawab :
Memberi
ucapan Selamat Natal atau mengucapkan selamat dalam hari raya mereka (dalam
agama) yang lainnya pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan
kesepakatan para ulama (baca : ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini
dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya ‘Ahkamu Ahlidz
Dzimmah’. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Adapun
memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi
orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang
diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah
memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan,
‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat
pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal
ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang
diharamkan.
Ucapan
selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan
selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini
lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci
oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum
minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat
lainnya.
Banyak orang
yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini
tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat.
Oleh karena
itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat,
bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah
Ta’ala.” –Demikian perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah-
Dari
penjelasan di atas, maka dapat kita tangkap bahwa mengucapkan selamat pada hari
raya orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan. Alasannya, ketika mengucapkan
seperti ini berarti seseorang itu setuju dan ridho dengan syiar kekufuran yang
mereka perbuat. Meskipun mungkin seseorang tidak ridho dengan kekufuran itu
sendiri, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk ridho
terhadap syiar kekufuran atau memberi ucapan selamat pada syiar kekafiran
lainnya karena Allah Ta’ala sendiri tidaklah meridhoi hal tersebut. Allah
Ta’ala berfirman,
“Jika kamu
kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai
kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu
kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar [39] : 7)
Allah Ta’ala
juga berfirman,
“Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah [5]
: 3)
Apakah Perlu
Membalas Ucapan Selamat Natal?
Memberi
ucapan selamat semacam ini pada mereka adalah sesuatu yang diharamkan, baik
mereka adalah rekan bisnis ataukah tidak. Jika mereka mengucapkan selamat hari
raya mereka pada kita, maka tidak perlu kita jawab karena itu bukanlah hari
raya kita dan hari raya mereka sama sekali tidak diridhoi oleh Allah Ta’ala.
Hari raya tersebut boleh jadi hari raya yang dibuat-buat oleh mereka (baca :
bid’ah). Atau mungkin juga hari raya tersebut disyariatkan, namun setelah Islam
datang, ajaran mereka dihapus dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajaran Islam ini adalah ajaran untuk seluruh
makhluk.
Mengenai
agama Islam yang mulia ini, Allah Ta’ala sendiri berfirman,
“Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
(QS. Ali Imron [3] : 85)
[Bagaimana
Jika Menghadiri Perayaan Natal?]
Adapun
seorang muslim memenuhi undangan perayaan hari raya mereka, maka ini diharamkan.
Karena perbuatan semacam ini tentu saja lebih parah daripada cuma sekedar
memberi ucapan selamat terhadap hari raya mereka. Menghadiri perayaan mereka
juga bisa jadi menunjukkan bahwa kita ikut berserikat dalam mengadakan perayaan
tersebut.
[Bagaimana
Hukum Menyerupai Orang Nashrani dalam Merayakan Natal?]
Begitu pula
diharamkan bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta
natal, atau saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau
makanan (yang disimbolkan dengan ‘santa clause’ yang berseragam merah-putih,
lalu membagi-bagikan hadiah, pen) atau sengaja meliburkan kerja (karena
bertepatan dengan hari natal). Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
يَ تَشَبَّ
بِقَىِوٍ فَهُىَ يِ هُُِىِ
”Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad
dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini
jayid/bagus)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim mengatakan,
“Menyerupai
orang kafir dalam sebagian hari raya mereka bisa menyebabkan hati mereka merasa
senang atas kebatilan yang mereka lakukan. Bisa jadi hal itu akan mendatangkan
keuntungan pada mereka karena ini berarti memberi kesempatan pada mereka untuk menghinakan
kaum muslimin.” -Demikian perkataan Syaikhul Islam-
Barangsiapa
yang melakukan sebagian dari hal ini maka dia berdosa, baik dia melakukannya
karena alasan ingin ramah dengan mereka, atau supaya ingin mengikat
persahabatan, atau karena malu atau sebab lainnya. Perbuatan seperti ini
termasuk cari muka (menjilat), namun agama Allah yang jadi korban. Ini juga
akan menyebabkan hati orang kafir semakin kuat dan mereka akan semakin bangga
dengan agama mereka.
Allah-lah
tempat kita meminta. Semoga Allah memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka.
Semoga Allah memberikan keistiqomahan pada kita dalam agama ini. Semoga Allah
menolong kaum muslimin atas musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha
Kuat lagi Maha Mulia.
Fatwa Kedua
– Berkunjung Ke Tempat Orang Nashrani untuk Mengucapkan Selamat Natal pada
Mereka
Masih dari
fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah dari Majmu’ Fatawa wa
Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/29-30, no. 405.
Syaikh
rahimahullah ditanya : Apakah diperbolehkan pergi ke tempat pastur (pendeta),
lalu kita mengucapkan selamat hari raya dengan tujuan untuk menjaga hubungan
atau melakukan kunjungan?
Beliau
rahimahullah menjawab :
Tidak
diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang
kafir, lalu kedatangannya ke sana ingin mengucapkan selamat hari raya, walaupun
itu dilakukan dengan tujuan agar terjalin hubungan atau sekedar memberi selamat
(salam) padanya. Karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
لاَ
تَبِذَءُوا انْيَهُىدَ وَلاَ ان صََُّارَي بِانسَّلاَوِ
“Janganlah
kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim
no. 2167)
Adapun dulu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkunjung ke tempat orang Yahudi
yang sedang sakit ketika itu, ini dilakukan karena dulu ketika kecil, Yahudi
tersebut pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala
Yahudi tersebut sakit, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya dengan
maksud untuk menawarkannya masuk Islam. Akhirnya, Yahudi tersebut pun masuk
Islam.
Bagaimana
mungkin perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengunjungi seorang
Yahudi untuk mengajaknya masuk Islam, kita samakan dengan orang yang bertandang
ke non muslim untuk
menyampaikan
selamat hari raya untuk menjaga hubungan?! Tidaklah mungkin kita kiaskan
seperti ini kecuali hal ini dilakukan oleh orang yang jahil dan pengikut hawa
nafsu.
Fatwa Ketiga
- Merayakan Natal Bersama
Fatwa
berikut adalah fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’
(Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) no. 8848.
Pertanyaan :
Apakah seorang muslim diperbolehkan bekerjasama dengan orang-orang Nashrani
dalam perayaan Natal yang biasa dilaksanakan pada akhir bulan Desember? Di
sekitar kami ada sebagian orang yang menyandarkan pada orang-orang yang
dianggap berilmu bahwa mereka duduk di majelis orang Nashrani dalam perayaan
mereka. Mereka mengatakan bahwa hal ini boleh-boleh saja. Apakah perkataan
mereka semacam ini benar? Apakah ada dalil syar’i yang membolehkan hal ini?
Jawab :
Tidak boleh
bagi kita bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam melaksanakan hari raya
mereka, walaupun ada sebagian orang yang dikatakan berilmu melakukan semacam
ini. Hal ini diharamkan karena dapat membuat mereka semakin bangga dengan
jumlah mereka yang banyak. Di samping itu pula, hal ini termasuk bentuk tolong
menolong dalam berbuat dosa.
Padahal
Allah berfirman,
وَتَعَاوَ
ىَُا عَهَ انْبِرِّ وَانتَّقْىَي وَنَا تَعَاوَ ىَُا عَهَ انْئِثْىِ
وَانْعُذِوَاٌِ
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah [5] : 2)
Semoga Allah
memberi taufik pada kita. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
pengikut dan sahabatnya.
Ketua Al
Lajnah Ad Da’imah : Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Saatnya
Menarik Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan :
Pertama, Kita –kaum
muslimin- diharamkan menghadiri perayaan orang kafir termasuk di dalamnya
adalah perayaan Natal. Bahkan mengenai hal ini telah dinyatakan haram oleh
Majelis Ulama Indonesia sebagaimana dapat dilihat dalam fatwa MUI yang
dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1981.
Kedua, Kaum
muslimin juga diharamkan mengucapkan ‘selamat natal’ kepada orang Nashrani dan
ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin sebagaimana yang dikatakan
oleh Ibnul Qoyyim.
Jadi, cukup
ijma’ kaum muslimin ini sebagai dalil terlarangnya hal ini. Yang menyelisihi
ijma’ ini akan mendapat ancaman yang keras sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَيَ
يُشَاقِقِ انرَّسُىلَ يِ بَعِذِ يَا تَبَيَّ نَ انْهُذَي وَيَتَّبِعِ غَيِرَ
سَبِيمِ انْ ؤًُِيِ يُِنَ ىَُنِّ يَا تَىَنَّ وَ صَُِهِ جَهَ ىََُّ وَسَاءَتِ
يَصِيرّا
“Dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’ [4] : 115). Jalan orang-orang
mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.
Oleh karena
itu, yang mengatakan bahwa Al Qur’an dan Hadits tidak melarang mengucapkan
selamat hari raya pada orang kafir, maka ini pendapat yang keliru. Karena ijma’
kaum muslimin menunjukkan terlarangnya hal ini. Dan ijma’ adalah sumber hukum
Islam, sama dengan Al Qur’an dan Al Hadits. Ijma’ juga wajib diikuti
sebagaimana disebutkan dalam surat An Nisa ayat 115 di atas karena adanya
ancaman kesesatan jika menyelisihinya.
Ketiga, jika
diberi ucapan selamat natal, tidak perlu kita jawab (balas) karena itu bukanlah
hari raya kita dan hari raya mereka sama sekali tidak diridhoi oleh Allah
Ta’ala.
Keempat, tidak
diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir
untuk mengucapkan selamat hari raya.
Kelima, membantu
orang Nashrani dalam merayakan Natal juga tidak diperbolehkan karena ini
termasuk tolong menolong dalam berbuat dosa.
Keenam, diharamkan
bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta natal, atau
saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau makanan dalam
rangka mengikuti orang kafir pada hari tersebut.
Demikianlah
beberapa fatwa ulama mengenai hal ini. Semoga kaum muslimin diberi taufiko oleh
Allah untuk menghindari hal-hal yang terlarang ini. Semoga Allah selalu
menunjuki kita ke jalan yang lurus dan menghindarkan kita dari berbagai
penyimpangan. Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik.
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa
‘alihi wa shohbihi wa sallam.
Hijab punuk unta yaitu menggunakan hijab tetapi ada tonjolan dibelakangnya seperti punuk unta. Tonjolan itu dapat berupa rambut yang digelung maupun sesuatu sebagai pengganti rambut agar terdapat tonjolan itu. Misalnya saja berupa bantal kecil yang sengaja dimasukkan agar memperindah bentuk.
Melalui sabdanya, Rasulullah SAW telah memberitahukan kepada kita mengenai hal ini. Rasulullah SAW bersabda:
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ
أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا
النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ
كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ
رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
۞رواه أحمد ومسلم في الصحيح ۞
“Ada dua golongan penduduk neraka yang belum aku melihat
keduanya. Kaum yang membawa cemeti seperti ekor sapi untuk mencambuk manusia
(maksudnya penguasa yang dzalim), dan perempuan-perempuan yang berpakaian tapi
telanjang, cenderung kepada kemaksiatan dan membuat orang lain juga cenderung
kepada kemaksiatan. Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang
berlenggak-lenggok. Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium bau wanginya.
Padahal bau wangi surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian
waktu (jarak jauh sekali),” (HR. Muslim dan yang lain).۞رواه أحمد ومسلم في الصحيح ۞
Dalm hadits tersebut jelas bahwa wanita-wanita yang menggunakan punuk unta pada hijabnya termasuk golongan orang-orang yang merugi di akhirat kelak. Mereka tidak akan mencium bau surga yang sebenarnya dalam jarak yang jauh sekali pun dapat tercium. Tapi, itu memang sudah ketetapan dari Allah SWT akibat kelakuan mereka sendiri. Mereka bangga dengan apa yang mereka pertontonkan. Padahal, dari perbuatan yang seperti itulah mereka telah berbuat kesalahan yang berakibat fatal bagi dirinya.
Hal tersebut telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW jauh sebelum hal itu terjadi. Tapi, Rasulullah memberitahukan kepada kita, bahwa salah satu tanda akhir zaman itu ialah adanya hijab punuk unta tersebut. Subhanallah, itulah kelebihan yang dimiliki oleh Nabi kita. Allah SWT telah memberi kabar akan adanya tanda akhir zaman itu melalui Nabi kita. Dan kini, apa yang disampaikan Nabi SAW itu benar adanya. Apakah mungkin akhir zaman itu telah mulai dekat? Wallahu ‘alam.
Untuk itu, kewajiban kita kepada sesama muslim ialah saling mengingatkan. Jadi, apabila kita melihat seseorang yang berhijab seperti itu, tidak ada salahnya apabila kita menegurnya. Karena, boleh jadi mereka tidak mengetahui ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya yang sebenarnya. Bila seseorang yang ditegur itu tidak mau mendengarkan nasihat kita, maka tidak menjadikan dosa kepada kita. Pada hakikatnya, kewajiban kita hanya mengingatkan saja, dan apabila hal itu telah dilakukan maka gugurlah kewajiban kita itu. Yang salah adalah apabila kita mendiamkan mereka tetap berada dalam kesalahannya. [rika/islampos/at-thaifahmanshurah]
Posting Komentar